Archive for Oktober 2012
Jendela di Sorga
Jendela di Sorga
Oleh MUHAMMAD AINUN NADJIB
Seandainya Allah berkenan memasukkan kita ke sorga, lantas suatu sore kita beristirahat, bermain gitar, bersenandung sambil memandang keluar jendela, dan tampak saudara-saudara kita sendiri yang kita kenal baik sedang meraung-raung disiksa di kubangan api neraka, rasanya tidak tega juga.
Padahal kita sah masuk sorga dan saudara-saudara kita itu memang pantas masuk neraka. Tapi kita tetap tidak tega.
Padahal itu di sorga. Apalagi di dunia ini. Kita belum tentu pantas berbahagia, karena mungkin jalan kita untuk kaya dan sejahtera tidak seratus persen sah secara sistem. Jutaan saudara-saudara kita juga bisa jadi seharusnya tidak melarat dan menderita, seandainya tatanan yang mengatur kehidupan kita semua ini berlaku semestinya.
Tapi tatkala kalimat-kalimat ini saya ungkapkan kepada teman-teman, mereka berkata: “Masa di sorga ada sore hari dan ada jendela. Masa di sorga kita bisa main gitar dan bersenandung”.
Padahal saya tidak berbicara tentang sorga, melainkan seratus persen tentang dunia.
Sumber :: Caknun.com
Para Kekasih Iblis
Para Kekasih Iblis
Oleh MUHAMMAD AINUN NADJIB
Semakin banyak orang tahu bahwa dunia ini bergerak menuju “Indonesia harus terus hidup, tapi jangan sampai besar dan kuat. Negara Indonesia harus lemah, bangsa Indonesia harus kerdil”.
Maka orasi seorang tokoh tua di sebuah “rapat gelap” ini mungkin justru merupakan ungkapan cinta yang mendalam dan pembelaan kepada Indonesia:
Kita bangsa Indonesia jangan sampai berhenti berjuang sebelum Indonesia benar-benar total kehilangan Indonesianya. UUD perlu kita amandemen terus sampai berapa kalipun sampai kelak nasionalisme dan kedaulatan keIndonesiaan terkikis habis.
“Setiap bikin undang-undang baru, peraturan-peraturan baru, di lembaga kenegaraan sebelah manapun, di tingkat paling atas sampai bawah, sebaiknya dipastikan menuju proyek besar sejarah de-nasionalisasi Indonesia hingga titik paling nadir”.
“Demikian juga policy dan penanganan segala bidang: perdagangan, pertanian, perpajakan, pendidikan, kebudayaan, sampaipun cara berpikir dan selera makan, hendaknya jangan memanjakan ke-Indonesiaan. Bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang dengan ketangguhannya siap ditimpa dan memikul ujian-ujian sangat berat yang tak mungkin dipanggul oleh bangsa-bangsa lain”.
“Pemimpin bangsa berikutnya haruslah lebih buruk. Nasionalisme Indonesia harus dihajar habis sampai tingkat kematian yang memungkinkan ia lahir kembali. Kita memerlukan tempo yang lebih tinggi untuk menyelenggarakan kehancuran, kebobrokan dan kebusukan — bangsa kita amat sangat tahan derita, sanggup hidup nyaman dalam kebusukan, bahkan mampu hidup sebagai kebusukan itu sendiri”.
“Dialektika Penghancuran Nasional harus dipacu habis. Kokohkan setiap pemerintahan sebagai perusahaan yang memanipulasi dan mengeksploitasi rakyatnya. Proyek penjualan tanah air dengan segala kekayaannya harus dijadikan ideologi utama”.
Pasti itu bukan pernyataan politik. Bukan anjuran sejarah. Itu jeritan orang patah hati.
Kalau Negara rusak, pemerintahan penuh dusta, sistem bobrok dan prinsip nilai jungkir-balik: yang terutama menangis adalah “orang”. Adalah “manusia”. Adapun Negara, pemerintah, ssstem, nilai, tak bisa menangis, tak bisa bersedih. Juga tak menanggung apa-apa. Yang menanggung duka derita adalah manusia.
Jadi tulisan ini tak lebih hanyalah tegur sapa dengan sesama manusia, dengan derita hatinya, tangisnya, sepi dan bisunya.
Dan apa boleh buat, kalau menyapa manusia, tidak mungkin dilakukan tanpa menyapa juga pihak yang bikin manusia: Tuhan. Kemudian juga IBlis, “hulu” derita ummat manusia.
Iblis berkata : “Tahukan engkau, Muhammad, aku adalah asal usul dusta. Aku adalah makhluk pertama yang berdusta. Para pendusta di bumi adalah sahabatku. Dan mereka yang bersumpah kemudian mendustakan sumpah itu, mereka adalah kekasihku”.
Kurang jelaskah pemandangan wajah Indonesia sekarang ini di kalimat Iblis itu? Kurang tampakkah, sosok pemerintahan Indonesia, tradisi mental banyak pejabatnya, pengkhianatan terhadap amanat kerakyatannya, juga manipulasi kebijakan yang sangat tidak bijak — pada pernyataan Iblis itu?
Dan, pen “citra” an, apakah gerangan ia kalau bukan dusta? Siapakah yang memamerkan wajahnya, menyorong punggungnya, menyodorkan dirinya untuk menjadi pemimpin, selain sahabat dan kekasih Iblis?
Iblis tidak berjarak dengan diri kita, dengan karakter budaya, politik dan pasar sejarah kita. Malah Tuhan yang jaraknya cenderung semakin menjauh dari kita, kecuali pas kita perlukan untuk memperoleh keuntungan atau mentopengi muka.
Akan tetapi dalam kehidupan kita Iblis bukan fakta. Ia hanya simbol. Idiom. Icon. Hanya abastraksi untuk menuding “kambing hitam”. Atau Tuhan kita perlukan untuk kapitalisasi karier, bisnis pendidikan, usaha dagang sedekah dan industri zakat, kostum religi perbankan dan bermacam-macam lagi dusta liberal penyelenggaraan kapitalisme kita.
Tuhan juga makin jadi “dongeng”. Segera Ia akan masuk daftar dongeng sesudah Malaikat dan dan Iblis. Peta mitos. Khayalan tentang suatu pemahaman yang disepakati istilahnya: Iblis, Setan, Dajjal, sebagaimana abstraksi kata Bajingan, Bangsat, Dancuk, Anjing. Sebab pada makian “Anjing!” yang dimaksud bukan benar-benar anjing. Anjing adalah binatang yang baik, tidak pernah berdosa, tidak pernah berbuat jahat dan tidak ada statemen Tuhan yang menyatakan bahwa anjing masuk neraka. Bahkan dalam faham pewayangan malah Puntadewa atau Prabu Dharmakusuma yang hidupnya sangat ikhlas dan sumeleh, tidak bisa naik ke langit yang lebih tinggi sementara anjingnya melaju ke sana.
Iblis dipahami sebagai simbol, tidak sebagai fakta. Itupun wilayah berlakunya simbolisasi Iblis tidak dipetakan secara memadai. Iblis diidentifikasi sebagai “idiom” untuk menyebut segala jenis keburukan dan kejahatan manusia — dan itu tidak sepenuhnya benar. Sedangkan “arupadatu” di Borobudur pun fakta, tak hanya “rupa datu” yang tampak oleh mata, yang tergolong “Ilmu Katon”: pemahaman tentang segala sesuatu yang bisa dilihat dengan mata. Iblis sendiri tidak sepenuhnya tinggal di wilayah “arupadatu”. Ia sangat faktual di “rupadatu”, sebab ia berada pada syariat utama kehidupan manusia, yakni darah yang mengalir di dalam tubuhnya.
“Kamu Muhammad”, kata Iblis suatu hari, “tak akan bisa berbahagia dengan ummatmu, karena aku bisa memasuki darah mereka tanpa mereka bisa menemukanku”. Iblis melanjutkan, “aku minta kepada Allah agar menganugerahiku kemampuan untuk mengalir di dalam darah manusia, dan Allah menjawab Silahkan!”.
Sebentar. Yang menyuruh Iblis datang ke Muhammad adalah Tuhan sendiri. Yang disuruh itu lazimnya adalah anak buah. Dan kalau musuh tidak pada tempatnya menyuruh musuh. Allah menginstruksikan agar Iblis tidak berdusta kepada Muhammad, menjawab pertanyaan dengan jujur, serta membuka semua rahasia tugasnya dari Allah di medan kehidupan manusia.
Coba ingat kata-kata Iblis “Akulah makhluk pertama yang berdusta”. Fakta dusta Iblis yang pertama adalah ia tidak mau bersujud kepada Adam. Penolakan untuk menghormati manusia ini parallel dengan pernyataan semua Malaikat kepada Tuhan: “Kenapa Engkau ciptakan manusia, yang kerjanya merusak bumi dan menumpahkan darah”. Andai di-kalimat-kan, Iblis meneruskan: “Maka aku menolak bersujud kepada Adam”.
Kemudian Allah mengizinkan Iblis yang meminta “tangguh waktu” sampai hari Kiamat, untuk kelak membuktikan bahwa setelah menjalani sekian peradaban, manusia terbukti tidak punya kelayakan untuk dihormati atau “disembah” oleh Iblis dan para Malaikat. Dan Iblis hari ini tersenyum-senyum: tak perlu nunggu sampai Kiamat, datang saja ke Indonesia tanggal berapa bulan apa saja untuk menemukan bahwa penolakan bersujud oleh Iblis itu pada hakekatnya bukan dusta.
Jadi, siapa yang lebih kompatibel dengan neraka: kita atau Iblis? Ketika ada orang berbuat jahat, kita maki “Dasar Iblis!”, secara idiomatik makian itu tidak faktual. Ketika 70.000 anak-anak Iblis berdebat, lantas salah satu dari mereka memaki “Dasar manusia!”, itu bisa jadi itu malah benar dan jujur.
Kayaknya salah satu kesalahan manusia yang paling serius adalah memanipulasi Iblis. Padahal seluruh keburukan yang kita ludahkan itu bukan bikinan Iblis, melainkan produk keputusan kita sendiri.
“Aku tidak diberi kemampuan oleh Allah untuk menyesatkan manusia”, kata Iblis lagi kepada Muhammad, “Aku hanya membisiki dan menggoda. Kalau aku dikasih kuasa untuk menyesatkan manusia, maka tak akan tersisa satu orangpun yang tidak menjadi pengikutmu. Sebagaimana engkau Muhammad, tak ada kemampuanmu untuk memberi hidayah kepada manusia. Engkau hanya berhak dan mampu menyampaikan, tetapi tak bisa mengubah hati manusia. Sebab kalau kau dianugerahi kesanggupan untuk memberi hidayah, tak akan ada satu orangpun yang menjadi pengikutku”.
Begitu banyak — mengacu ke Borobudur — fakta “rupadatu” pada kehidupan manusia yang mata mereka tak melihatnya. Udara yang ia hirup, suaranya sendiri, bahkan mata tidak mampu melihat mata, paling jauh ia melihat bayangannya di cermin, tapi bukan diri mata itu sendiri. Jangankan lagi dengan semakin canggihnya teknologi ultra-modern sekarang: kita bingung siaran televisi itu berasal dari “rupadatu”, diantarkan oleh “arupadatu”, ditangkap dan diekspressikan secara “rupadatu”. Belum lagi ke kerjaan frekwensi yang lain: software di komputer, lalulalang Sms, Bbm, unduh ini unggah itu. Dulu saya menyangka telegram itu dikirim kertasnya meluncur nyantol lewat kabel-kabel sepanjang jalan. Se-nyata dan se-faktual itulah Iblis dalam kehidupan kita, bahkan di dalam diri kita, bahkan ia mengalir di dalam darah kita.
Maka sebagaimana formula “casting” Iblis, orasi tokoh tua kita di atas tepatnya dipahami tidak dengan logika linier. Ia suatu lipatan, mungkin dialektika berpikir yang zigzag, mungkin spiral, mungkin siklikal. Kalimat seniman kita “Nasionalisme Indonesia harus dihajar habis sampai tingkat kematian yang memungkinkan ia lahir kembali” adalah sisipan cita-cita mulia di tengah deretan pernyataan yang seolah-olah mendorong kita ke kehancuran.
Muhammad bertanya, “Siapa temanmu?”
Iblis menjawab, “Para pemakan riba”. Sangat jelas mappingnya di Indonesia.
“Siapa tamumu?”
“Para pencuri”. Sampai-sampai diperlukan KPK, yang kita doakan segera bubar, yakni sesudah Kepolisian Kejaksaan Kehakiman bisa dipercaya untuk menangani perilaku tamu-tamu Iblis.
“Siapa utusanmu?”
“Tukang-tukang sihir”. Sihir pemikiran, cara berpikir, peta manipulasi wacana berpikir, di Sekolah, Kampus, semua media wadah pemikiran.
“Siapa teman tidurmu?”
“Para pemabuk”. Mabuk idolatri, mabuk tayangan-tayangan, mabuk artis-artisan, Ustadz-ustadzan, Gus-Gusan, Kiai-Kiaian… yang terbuat dari plastik… seperti mobil-mobilan untuk kanak-kanak di pasar Kecamatan.
Iblis juga menyindir kita: “Gosip dan adu-domba adalah hobiku”.
Ada baiknya kita undang Iblis menjadi narasumber rembug nasional, dengan syarat: “Aku mendatangi semua manusia, yang bodoh maupun pintar, yang durjana atau yang salah, yang bisa membaca atau buta huruf. Semuanya, kecuali orang ikhlas”.
Yogya 25 September 2012
Dimuat di Kolom, Majalah Gatra No. 49 XVIII 11 Oktober – 17 Oktober 2012
Sumber :: Caknun.com
Sembelihan Allah
Sembelihan Allah
Oleh MUHAMMAD AINUN NADJIB
Manusia selalu dirundung problem bahasa. Bahkanpun para penyair, yang biasanya berada di dalam “istana” eksklusif yang jauh dari politik dan masyarakat umum. Dewasa ini problematika budaya-bahasa dan politik-bahasa berkembang dan membengkak sedemikian rupa, sehingga sangat menyempitkan kemungkinan kekayaan komunikasi.
Sumber :: Caknun.com
Oleh MUHAMMAD AINUN NADJIB
Manusia selalu dirundung problem bahasa. Bahkanpun para penyair, yang biasanya berada di dalam “istana” eksklusif yang jauh dari politik dan masyarakat umum. Dewasa ini problematika budaya-bahasa dan politik-bahasa berkembang dan membengkak sedemikian rupa, sehingga sangat menyempitkan kemungkinan kekayaan komunikasi.
Dulu penyair kontemplatif Goenawan Muhamad kasih dalil: “Musuh utama penyair adalah salah cetak”. Kalau “binatang jalang” salah cetak menjadi “binatang jalan”, atau “represi” menjadi “ekspresi”, maka habislah semuanya. Tak hanya penyair, semua penulispun mengalami tantangan yang sama. Para pelukispun bulan-bulan ini harus hati-hati: sementara singkirkan dulu cat hijau, kuning dan merah.
Saya bukan benar-benar seorang penyair, tapi sering disuruh bikin kalimat-kalimat yang nanti orang menganggapnya puisi. Dan akhir-akhir ini rasa takut saya membengkak setiap kali hendak memutuskan menggunakan suatu kosa kata atau susunan kalimat. Ketakutan saya itu karena pada dasarnya saya sangat menghormati ajaran para leluhur bahwa dalam hidup ini kita harus lebih banyak mendengarkan orang dibanding mengomongi orang.
Bahkan Allah sendiri sangat lebih menekankan fungsi sami’ (mendengar) dibanding bashir (melihat). Jadi orang omong apa saja selalu saya anggap penting, karena mereka sudah besar, sudah dewasa, sudah sangat mampu berpikir dan memutuskan segala sesuatu yang hendak diungkapkan. Kalau saya acuhkan dan abaikan, itu kekeliruan sosial.
Suatu saat saya bikin kalimat: “Muhammadkan hamba ya Allah….” Seseorang menuduh saya sok suci. Manusia biasa yang banyak dosa kok pengin jadi Nabi. Padahal yang dimaksud “muhammadkan hamba” adalah upaya dan doa mohon perkenan Allah agar membantu kita memakai wacana kepribadian Muhammad untuk bisa kita terapkan dalam diri kita.
Allah sendiri bahkan kabarnya menciptakan manusia dengan formula seperti “miniatur” Dia sendiri. Itu berarti merupakan anjuran agar kelengkapan dan komprehensi-dialektis asma Allah kita jadikan acuan. Jadi, kita membina perilaku ini berdasarkan cakrawala karakter Allah sendiri. Ia rahman rahim, penuh kasih sayang. Tapi Ia juga bikin neraka, Ia juga qabidl (penahan rejeki), Ia juga syadid (penyiksa), Ia juga mutakabbir (pentakabur) — namun semua watak yang dalam pandangan kita seolah negatif itu selalu berfungsi positif karena diterapkan pada tempat dan konteksnya yang tepat.
Mentang-mentang kita menganut ajaran kasih sayang rahman rahim maka lantas kita menolak bikin rumah penjara, mengampuni koruptor, membatalkan pasal-pasal hukum mengenai perampokan, penindasan atau kekejaman. Lembaga Pemasyarakatan itu bukan institusi kekejaman. Nerakanya Allah adalah wujud dialektis dari kasih sayangNya juga. Cara menyayangi anak yang bersalah adalah dengan menghukumnya.
Tapi hal-hal semacam itu tidak selalu gampang dijelaskan kepada manusia. Sehingga tatkala untuk Idul Adha saya mau bikin kalimat “Ismailkan hamba ya Rabbi….” — saya begitu kawatir orang akan salah paham. Padahal maksud saya adalah kalau saya disembelih dalam pengalaman sejarah, saya mohon kepada Allah agar kambing yang tersembelih.
Gelar Nabi Ismail AS adalah dzabihullah. Sembelihan Allah. Saya ingin sekali menggunakannya untuk judul suatu tulisan, namun dengan perasaan was-was. Apakah Allah tukang sembelih? Apakah Allah itu Maha Jagal, sebagaimana dalam konteks lain saya juga takut mengumumkan idiom wallohu khoirul makirin, Allah itu Maha Pemakar?
Mungkin sudah ratusan kali kita mengkomunikasikan bahwa untuk urusan tertentu peradaban kita ini pra-Ibrahim. Kalau Ibrahim AS. hidup sekarang dan pada suatu pagi menyembelih anaknya, para tetangga segera akan melaporkannya ke Polsek, atau mungkin langsung memukulinya sampai meninggal. Di zaman ini kita tidak memiliki perangkat ilmu pengetahuan dan tingkat legalitas hukum yang sanggup mengakomodasikan fenomena (vertikal) Ibrahim dan Ismail.
Jangankan fenomena penyembelihan. Sedangkan kita suatu hari nongkrong di dekat kandang kambing saja orang lantas menyimpulkan kita adalah kambing. Saya berpapasan dengan angin pada suatu siang dan omong-omong sejenak, orang di sekitar saya langsung menyangka saya masuk angin. Orang sekarang gila label.
Kalau saya jum’atan, saya memutuskan untuk berjamaah hanya dengan kaum gelandangan. Kalau berjum’atan dengan pedagang kaki lima, saya kawatir ada yang modalnya dari Pak Carik sehingga nanti saya ikut dituduh direkrut oleh Pak Carik. Kalau ada satpam dalam jamaah di mana saya ikut, nanti saya dituduh orangnya pejabat ini atau pengusaha itu di mana satpam itu bekerja. Susahnya yang nuduh saya itu bukannya para gelandangan, melainkan orang yang memang benar-benar bekerja di kekuasaan dan konglomerasi.
Bahkan terakhir saya mendengar label baru bahwa saya adalah intel karena suka bergaul dengan gelandangan, yang sebagian dari mereka adalah memang intel yang menyamar jadi gelandangan.
Demikianlah saya senantiasa bersetia mendengarkan orang lain. Dan itulah sumber pengetahuan hidup saya. Tapi susahnya, orang sering tak bisa diduga apa maunya. Pernyataan orang juga tidak selalu mencerminkan sikap dan kemauannya. Kalau seseorang bilang “Nun, kamu sekarang bukan temanku lagi”, lantas saya percaya, saya terapkan, sehingga ketika bertemu di jalan saya tidak berani menegur dan tatkala dia membutuhkan pertolongan saya tidak menolong — ternyata reaksinya begini: “Kamu memang sombong! Kamu tidak berperikemanusiaan, tidak peka terhadap kebutuhan orang lain”.
Bahkan ketika saya butuh pertolongan namun tidak merasa berhak minta tolong kepadanya, ia berkomentar: “Dia memang sok kuat. Egosentris. Tidak merasa bahwa orang hidup itu saling membutuhkan. Disangkanya saya sedemikian lemahnya sehingga tidak bisa menolong dia!”
Saya melihat itu semua adalah peristiwa cinta. Kalau kita tidak menimba, orang yang kita cintai dan mencintai kita marah: “Kok nggak mau nimba sih?”. Kalau kemudian kita menimba, ia tuding: “Terpaksa ya nimbanya!”. Lantas kita hentikan menimba, ia bersungut-sungut: “Memang aslinya tidak mau menimba!”.
Cinta itu terkadang over-sensitif. Kalau yang terlibat dalam percintaan adalah orang besar, lebih susah lagi. Kalau bersikap biasa-biasa saja, ia naik pitam: “Nggak tahu siapa saya ya! Belajar menghormati dikit kek!” Kalau kemudian kita membungkuk menghormatinya, ia tuduh: “Nyindir ya! Saya tidak mau kau menghina dengan pura-pura menghormatiku!”. Kemudian kita kembali bersikap biasa, dan ia serbu kita: “Dasar tak tahu diri!”
Lama-lama saya “curiga”, kayaknya doa saya dikabulkan oleh Allah. Mudah-mudahan saya adalah the tiny Ismail yang sedang disembelih.
Sumber :: Caknun.com
Earning Easy Money in Eimimo
Eimimo.com sebuah Generasi Baru Peluang Penghasilan.
Dalam Pra-peluncuran! $ 10 gratis ditambah Pensiun Rencana! $ 10 gratis! Pendapatan & Share Pensiun!
Apakah Anda belum bergabung Eimimo.com ?
80.000 orang lebih telah bergabung karena ini adalah kesempatan berpenghasilan yang unik dan berbeda.
Program ini adalah 100% -( tanpa diragukan lagi )- gratis! Hal ini tersedia bagi siapa pun di dunia ( tapi harus berusia 18 ke atas lohh ya, ,hehee ). Anda akan diberi bonus pendaftaran ( SIGN UP ) sebesar $ 10.00 dan benar-benar GRATIS!. Ini bukan program berbagi dengan keuntungan yang sedikit melainkan program berbagi hasil ( revenue sharing ) yang sebenarnya. Memiliki Rencana Pensiun juga! (+) - Anda bisa mendapatkan gratis e-book, free software, bonus gratis, dan banyak lagi! Dan Anda tidak harus menghabiskan satu sen pun atau menjual sesuatu!
Lihat apa yang semua orang bicarakan tentang. Eimimo.com - ini adalah peluang pendapatan terbaru dan paling unik di internet.
Bergabung dengan kami sekarang! cukup klik Banner di bawah ini :
NB : Tips n Triknya entaran ye !!! nyusul ntar kalo ane uda semangat lagi, ,heheee :D
TENTANG AKU
AKU !!
Adalah seorang pria yang dilahirkan dari sepasang hamba Allah yang dikarunia dua anak perempuan dan satu laki-laki, yaitu 'AKU'. Yang oleh orang tua dianugrahi sebuah nama 'NurKholis MuttaQien'. Pertama kali menumpahkan air mata di kota 'Putra Sang Fajar' Blitar, pada tanggal 31 Juli dua puluh empat (24) tahun silam.
Dengan segala kekurangan dan kelebihan AKU berusaha menatap kedepan dan menjalani setiap langkah yang aku tempuh. Tidak ada deskripsi tentang diriku ini secara pasti. Karena setiap orang yang kenal dg aku penilaiannya pasti berbeda-beda. Jadi, lebih baik kalian deskripsikan aja gimana aku sesuai yg kalian tahu tentang aku. . . . .
Dan bersiaplah menjadi guru dari setiap perjalanan yang kita jalani bersama.
God Bless You !!!
Quote ::
"Yang paling mulia adalah orang yang lahir dengan kebijaksanaan. Berikutnya adalah mereka yang menjadi bijaksana melalui belajar.
Berikutnya adalah mereka yang mau belajar setelah mengalami kesulitan hidup.
Yang paling buruk adalah mereka yang tidak mau mencoba untuk belajar. ."
~ Confusius ~