Archive for November 2012

Kebenaran dalam Sebaris Terbang


Kebenaran dalam Sebaris Terbang 
Catatan Mustofa W Hasyim (NM)
Oleh  MUSTOFA W. HASYIM, 



Waktu mendekati pukul 00.00 WIB, Kelompok Shalawatan Jawi di sebuah dusun Gunung Kidul baru menyelesaikan salah satu lagu shalawatan Jawa yang oleh teman-teman NM (Nahdlatul Muhammadiyin) disebut sebagai suara malaikat karena lembut dan menenteramkan hati. Saat itu “teks berupa benda” dalam mengingatkan diri hadirnya tahun baru 1 Muharam/1 Suro sudah datang, berupa nasi tumpeng sederhana yang segera dijelaskan makna simboliknya oleh Dalang Slawatan. “Teks berupa benda” ini lebih ringkas dan sederhana dibandng dengan yang dihadirkan di dusun lereng Merapi di sebuah dusun yang didatangi NM setahun sebelumnya.

Teman dari teks berupa benda dalam memperingati 1 Suro di Gunung Kidul juga berbeda dengan yang disuguhkan di lereng Merapi itu. Di Gunung Kidul, rombongan NM yang dipimpin Kiai Marjuki Kurdi mendapat kejutan. Ada gudangan daun mengkudu muda yang lezat dan menyehatkan tubuh. Ditambah dengan soto ayam, telur, sambal tempe. kerupuk. Nasinya ada dua, nasi beras biasa dan nasi ketan.

Sebagai orang yang awam dengan hal ihwal kuliner, kami segera melahap atau menyerbu semua hidangan, dan dicampur baur di piring, tanpa peduli pada nada dan irama rasa dari makanan itu. Ternyata justru lezat. Masakan warga dusun ini mirip masakan dari surga. Rombongan yang sorenya mendapat suguhan apem khas Ponjong, pisang rebus dan mangga manis, ditambah lemper harus mengakui lezatnya suguhan menjelang midnight ini.

Setelah adegan makan selesai dan beberapa teman harus menyembuhkan lidah yang kepedasan dengan makan kerupuk banyak-banyak, sebelum lantunan lagu shawatan Jawi kuno dilanjutkan, ada omong-omong sebentar.

“Pak semua alat terbang beraneka ukuran ini dibuat dari kulit apa Pak?” tanya saja ingin tahu.

“Dari kulit lembu”, jawab beberapa orang tua di ruang itu.

“Bukan dari kulit kambing Pak?” tanyaku lagi.

“Bukan. Kulit kambing tidak baik kalau dibuat sebagai penutup terbang.”

“Saya dengar kulit kambing bagus untuk dipakai penutup terbang,” kataku.

“Tidak benar Pak. Yang benar yang kulit lembu ini.”

Jawaban itu membuat saya terkejut. Sebab dalam kunjungan NM beberapa minggu sebelumnya di sebuah dusun Kulonprogo, saya dan Pak Marjuki justru menemukan kebenaran yang sebaliknya. Kami masih ingat kata Pak Mangun dan teman-temannya yang satu grup shalawat Jawi di Kulongprogo ini.

Ketika kami tanya, terbuat dari kulit apa terbang yang bagus itu. Jawab mereka serentak, “Kulit kambing Pak”.

“Saya dengar yang bagus itu kulit lembu pak”, kata saya waktu itu.

“Salah Pak. Yang benar, kulit paling bagus untuk terbang ya kulit kambing”.

Saya terhenyak menemukan dua kenyataan kebenaran yang berbeda, bahkan bertentangan ini. Sambil mengusir sisa rasa pedas di lidah dengan mengunyah pisang rebus saya berpikir, ternyata dari dua deretan terbang yang dimiliki dua dusun berbeda, dipisahkan oleh jarak puluhan kilometer, ada dua kebenaran. Kebenaran tentang kulit yang baik untuk terbang.

Saya membisiki Harianto tentang kenyataan ini. Mencoba menerka-nerka sebab musabab munculnya dua kebenaran ini. Mungkin cuasa, iklim, jenis rumput, jenis kambing, jenis lembu, ketinggian tanah dan faktor XYZ lain yang membentuk kulit lembu atau kambinglah yang membuat salah satu kulit itu benar ketika dipasang di deretan terbang untuk sebuah dusun, tetapi menjadi salah jika diterapkan di dusun lain. Begitu sebaliknya. Lahirnya madzhab kulit lembu dan mahdzab kulit kambing ini pasti disebabkan karena masing-masing pihak punya sejarah sendiri-sendiri, proses sendiri-sendiri. Dalam fakta, keduanya benar ketika diterapkan di daerah masing-masing. Untung antara pemegang madzhab kulit kambing dan madzhab kulit lembu ini belum pernah ketemu. Sebab kalau ketemu, bisa terjadi heboh, kalau masing-masing berpegang teguh pada kebenaran klaim yang dipegangnya.

Lantas apakah ada titik temu bagi dua madzhab kulit ternak ini? Ada. Tapi fokus masalah diubah dan ditingkatkan, tidak pada masalah kulit untuk terbang. Tetapi pada masalah kayu untuk membuat terbang.

“Yang bagus itu kayu nangka Pak,” saya masih ingat dulu warga Sorogeten bilang begitu.

“Kalau disini kayu paling bagus untuk membuat terbang ya kayu Nangka,” jawab warga Gunung Kidul.

Saya jadi lega. Sebab ketika maqam persoalan ditingkatkan dari kulit menjadi kayu, ada kesepakatan. Keduanya mengakui adalah benar jika memakai kayu Nangka untuk terbang akan menghasilkan terbang yang bagus

Saya jadi ingat pada pertengkaran kecil antara sesama warga kota yang tinggal berseberangan sungai. Sebuah sungai legendaris, tentu. Warga di timur sungai bilang kalau untuk mengatakan kepala ayam yang enak dimakan mereka bilang, “Sirah pitik”.

Warga di seberang barat sungai membantah, “Salah. Yang benar, endhas pitik”.

“Sirah pitik!”

“Endhas Pitik?”

“Wah sampeyan itu piye to Yu, endhas itu untuk manusia. Untuk hewan yang pas ya sirah.”

“Sampeyan yang tidak nggenah to Dik, Sirah itu untuk manusia, untuk hewan yang benar yang endhas. Di tempatku kalau bilang endhasmu, itu kasar.”

“Kalau di tempatku, bilang sirahmu itu kasar, yang halus ya endhasmu.”

Perdebatan ini tentu tidak ada habis-habisnya kalau tidak ditemukan titik temu. Betul, ketika ada orang tua melerai dengan kata kunci tertentu, mereka pun mau berdamai.

“Wah, wah sudah. Keduanya sama-sama benar. Buktinya, ketika menyebut ayam kau dan kau menyebut apa?”

“Ayam ya ayam Mbah.”

“Di tempatku ayam juga disebut ayam.”

“Makanya, hidup itu ya mencari persamaan-persamaan, jangan mencari perbedaan. Toh barangnya sama, yang beda kan hanya penyebutan atau kata-katanya. Oke, ayo wawuh! Damai!”

Teringat kisah pertengkaran madzhab sirah dan madzhab endhas lalu didamaikan oleh madzhab ayam, saya jadi tersenyum. Sebab dalam masyarakat kita perbedaan atau malahan pebedaan madzhab untuk hal-hal kecil sering terjadi. Dan selalu ada titik temu kalau maqam masalahnya dinaikkan satu dua tingkat.

NM yang naik turun gunung, bersilaturahmi dengan kelompok masyarakat yang sering ditinggalkan oleh NU maupun Muhammadiyah, sering menemukan keunikan dalam memandang masalah kehidupan ini. Kalau ini ditempelkan pada masalah agama atau dalam beragama sering dijumpai hal yang lucu seperti itu.

Banyak orang sibuk mempertahankan sikap dan pandangan atau pilihan madzhab semisal madzhab kulit lembu, kulit sapi, madzhab sirah dan madzhab endhas. Dan lupa kalau masalah itu dapat diselesaikan pada tingkat kayu atau ayam.

Yogyakarta, November 2012

Sumber : caknun.com
Posted by NurKhois MuttaQien

Kaum Muda Masa Depan Bangsa


Kaum Muda Masa Depan Bangsa 
Oleh MUHAMMAD AINUN NADJIB,


Negara Indonesia disangga oleh lima pilar, bangsa Indonesia memiliki “alam takdir”, watak khas kemanusiaan dan kekayaan budaya yang merupakan bahan sangat menggiurkan untuk membangun peradaban penerang dunia di masa depan. Arab Spring yang kini sedang dilangsungkan oleh “sekutu penguasa bumi” meletakkan Indonesia sebagai sampel atau rujukan utama untuk “membangun demokrasi di Negeri mayoritas Muslim”. Di antara enam nominator, Indonesia yang utama, sementara Iran Turki urutan terbawah.

Sebenarnya terserah masing-masing untuk mengambil sisi yang mana dalam menilai bangsa Indonesia. Boleh pilih hipotesis bahwa bangsa ini sengaja dikubur kenyataan sejarah masa silamnya, sehingga penduduk bumi hanya mengenal Yunani Kuno, Mesir Kuno, Mesopotamia, atau Inka Maya. Statemen Santos Brazil bahwa Negeri Atlantis tak lain adalah nenek moyang Nusantara tidak boleh dilegalisir secara ilmiah.

Yang punya duit dan yang mengolah duit di abad ini adalah keturunan dua kakak beradik, yakni Ismail dan Ishaq, putra Mbah Ibrahim. Sementara di bawah tanah sedang mulai diyakini bahwa Ibrahim adalah anak turun Bangsa Nusantara yang lahir oleh salah seorang putra Nuh. Salah satu pendekatan ilmu menduga Adam adalah produk hibrida makhluk abu-abu, sementara manusia Nusantara adalah hibrida yang lebih “gawat”; blasteran antara ekstrem densitas positif dengan ekstrem densitas negatif.

Maka manusia Nusantara memiliki kenekadan hidup melebihi manusia bangsa manapun di muka bumi. Kata “nekad” tidak ada padanan bahasanya. berani merundingkan rencana korupsi ketika air wudlu belum kering. “Tolong yang 10% dikasih para Kiai, yang 10% dihibahkan ke Pesantren, jelasnya nanti kita tahlilan di Hotel X tanggal sekian jam sekian….”. Yang dimaksud para Kiai adalah anggota DPR tertentu yang terkait dengan proyek yang sedang akan disunat. Pesantren adalah pejabat Kementerian yang merupakan jalur proyek itu. Tahlilan maksudnya adalah meeting untuk pembagian apel Malang, apel Washington dst yang kemudian diubah idiomnya dengan kata-kata dari tradisi budaya Islam.

Bangsa nekad berani kawin tanpa punya kerjaan. Berani kredit motor ketika hutang yang dari kemarin masih bertumpuk. Berani naik menara tinggi pakai sandal jepit sambil merokok tanpa tali pengaman. Berani naik atap kereta api ratusan orang sekaligus tanpa berpegangan apa-apa. Kalau sudah tertangkap korupsi langsung pakai peci atau kerudung dan jilbab, begitu duduk di kursi pengadilan sudah nenteng tasbih di jari-jemarinya. Bangsa yang tidak kunjung hancur oleh krisis-krisis perekonomian, tetap menang kontes tertawa dan tersenyum sedunia, industri kuliner melonjak ekstrem, kampung-kampung dan jalanan tetap memancarkan kehangatan hidup.

Ada ratusan lainnya contoh ketangguhan manusia Nusantara. Ketangguhan, keanehan dan kegilaan. Tidak sekedar memiliki kesanggupan untuk mengalihkan area hujan cukup dengan sapi lidi dan cabe merah, atau memakelari peluang cium Hajar Aswad di tengah jejalan ratusan ribu orang berthawaf mengelilingi Ka’bah. Akan tetapi sisi itu boleh dianggap isapan jempol dan khayalan untuk menghibur-hibur diri dari kebrengsekan kehidupan bernegara yang tak kunjung usai. Setiap orang berhak ambil sisi lain: Bangsa Nusantara adalah Garuda yang sangat jinak dan berkekuatan Emprit: bisa dijajah ratusan tahun oleh beberapa peleton Satpam sebuah perusahaan Negeri Belanda….

Ada yang berpikir kontekstual: ayam tak mungkin melakukan pekerjaan burung, tapi burung juga jangan melakukan kebangkitan ayam. Kalau bangsa Indonesia adalah Garuda, kebangkitannya harus bervisi Garuda. Kalau bangsa Indonesia tidak tahu siapa dirinya, bagaimana mendisain kebangkitannya.

Tetapi ada juga yang berpikir universal dan esensial: terserah siapa kita dan siapa nenek moyang kita, pokoknya hari ini kamu punya potensi apa, kembangkan secara maksimal dengan kerja keras dan ketekunan.

Kita kembali close-up menatap diri. Bangunan NKRI disangga oleh lima pilar. Pilar pertama, yakni yang utama, sangat besar, tinggi dan berada di tengah bangunan, adalah rakyat.

Empat pilar lainnya, yakni kedua: Kaum Intelektual. Untuk konteks Negara modern disebut Kelas Menengah. Wilayah perannya: Legislatif, Eksekutif, Yudikatif, dan Pers.

Pilar ketiga, Tentara Rakyat. Sekarang TNI dan Polri. Pilar keempat, Kraton-kraton dan kekuatan kebudayaan. Pilar kelima, intitusi Agama-agama dan bangunan spiritualisme.

Pada era awal kemerdekaan hingga menjelang akhir 1950an,  terdapat keseimbangan yang lumayan di antara lima pilar itu. Kemudian mengerucut ke “Aku Sukarno”, lantas pada 1965 dijebol oleh strategi “anak petani” Suharto yang mempersiapkan kekuasaan sejauh tujuh tahun lebih sebelumnya. Untuk kemudian mendayagunakan Pilar Ketiga, dengan membonekakan Pilar Kedua dan mengebiri Pilar-pilar lainnya.

Suharto dengan Pelita 5×5 tahun, pupus di tengah jalan, sesudah ia menggeser landasan kekuatannya dari “merah putih” ke hijau, dari ABRI merah putih Ali Murtopo Beny Murdani ke ABRI hijau Hartono, dari Merah Putih Golkar ke embrio politik hijau melalui persemaian ICMI. Kekuasaan global yang menguasai bumi punya “pasal”: Indonesia silahkan maju dan jaya perekonomiannya, bahkan boleh berkibar Tri-Sakti (politik, ekonomi dan kebudayaan)nya, asal jangan “pakai peci”.

Karena pergeseran warna Suharto dari merah putih ke hijau, dari Suharto abangan ke Haji Muhammad Suharto, dari “Islam Jawa” ke “Jawa Islam”, ditambah sejumlah variable lain, maka Reformasi direkayasa untuk menjatuhkannya. Mahasiswa dan Kelas Menengah intelektual dibusungkan dadanya di-casting jadi pahlawan yang mampu menggulingkan Suharto, serta dibikin tidak ingat bahwa mereka tidak mampu menggulingkan Gus Dur, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono. Sambil disibukkan dengan sensasi budaya tawur dan euforia peradaban busa-busa intertainment.

Suharto lengser, tenang-tenang menyiram kembang di Cendana dan merokok “klobot”, tidak minta suaka ke luar negeri, tidak di demo di RT-RWnya, senyum-senyum melihat Reformasi, perih hatinya melihat anak-anaknya, menyesali Ilmu Pranatamangsa dan Ilmu Katuranggan yang sanggup ia terapkan dalam menguasai Indonesia selama 32 tahun, namun tidak sedikitpun ia mampu mengaplikasikan di keluarga kecil Cendananya.

Suharto benar-benar “ora petheken” selama tidak menjadi Presiden di sisa hidupnya. 16 bom di 8 pom bensin dan 8 titik jalan tol seputar Jakarta Kota dia acuhkan, padahal siap mengamankan Istana dan kekuasaannya kalau ia kasih kode dalam pertemuan 19 Mei 1998 di Istana Negara. Bahkan Suharto membuka dada dan tangannya dengan “4 Sumpah”: “Pertama, saya, Suharto, mantan Presiden RI, bersumpah kepada Tuhan Yang Maha Esa dan rakyat Indonesia bahwa saya tidak akan melakukan apapun untuk menjadi Presiden lagi. Kedua, untuk turut campur dalam pemilihan Presiden. Ketiga, siap diadili oleh Pengadilan Negara untuk mempertanggungjawabkan kesalahan-kesalahan saya selama menjadi Presiden. Keempat, siap mengembalikan harta rakyat berdasarkan putusan Pengadilan Negara….”

Ia tahu tak akan pernah diadili. Hanya dikutuk, dibenci dan dirasani. Sebab kebanyakan orang Indonesia ingin menjadi dia, calon-calon penguasa bukan anti-Suharto, melainkan ingin menggantikan dan memperoleh laba, keenakan dan kenikmatan yang ia peroleh 32 tahun. Maka ia tidak lari ke mana-mana, jangankan ke luar negeri, pindah RT-pun tidak. Ia tenang sembahyang, secara resmi mengangkat seorang Imam untuk memandunya berwirid husnul khatimah.

Akhirnya ia dipanggil Tuhan, meninggalkan rakyat Indonesia yang makin kebingungan menentukan Sukarno itu baik atau buruk, Suharto itu benar atau salah, sebenarnya mana rujukan masa depan kita: Orde Lama, Orde Baru ataukah Reformasi. Bahkan para penganut substansialisme hampir pecah kepalanya tak bisa menjawab SBY ini beneran Presiden atau Presiden-presidenan terbuat dari plastik. Sambil bersedih hatinya: dulu kita muak pada Bung Karno, tapi tetap bangga kepadanya. Dulu kita benci Suharto, tapi tidak sampai berani melecehkan bahkan menghinanya, sebagaimana sekarang orang melakukan pelecehan dan penghinaan itu di berbagai media bebas maupun di jalanan-jalanan.

Apalagi kalau melihat lebih spesifik dan detail — misalnya — atas pertimbangan keguru-bangsaan apa Bung Karno membubarkan HMI dan begitu dekat dengan PKI. Atas pertimbangan masa depan yang bagaimana Pak Harto menyimpan sejumlah rahasia 1998, termasuk sampai wafatnya tidak mengizinkan buku “Lalu lintas Keuangan Cendana” diterbitkan. Sebagaimana HB-IX juga sampai wafat beliau menolak membuka rahasia tentang fakta Perjuangan 1 Maret 1949, tentang peran Suharto yang sebenarnya.

Kita bangsa Indonesia tidak mau disiksa terus menerus oleh kebingungan, sehingga yang penting sekarang di tempat masing-masing kita sibuk “cari untung”. Kita manusia Indonesia memfokuskan diri pada tema-tema kecil, sekunder dan parsial. Karena yang besar-besar hampir mustahil diidentifikasi dan dielaborasi, serta tak mencukupi bahan-bahan sejarahnya. Juga tidak akan populer.

Akan tetapi kita jangan mati dengan melepas anak-anak kita buta tak tahu belakang dan tak mengerti depan. Sebenarnya saya gembira dan optimis hampir tiap malam di berbagai wilayah saya berjumpa dengan ribuan anak-anak muda yang berjuang menyembuhkan kebutaan hidupnya. Penduduk Indonesia sekarang rata-rata usianya adalah 27,5 tahun. Dan yang saya jumpai sejauh saya berkeliling ke pelosok-pelosok sejak hari kedua Suharto jatuh, adalah para pemuda usia tersebut dengan sorot mata yang aneh.

Aneh karena muatan orisinalitasnya. Mereka tidak hancur oleh ketidak-menentuan keadaan Negaranya. Mereka tidak semena-mena bisa dicuci otak dan mentalnya oleh industri disinformasi dan peradaban hiburan kekonyolan. Anak-anak muda Nusantara sedang mempersiapkan kebangkitannya. Ada gerakan 1 juta petani muda, ada eksperimentasi-eksperimentasi keIndonesiaan di segala bidang. Pelan-pelan tapi pasti akan lahir kaum muda visioner dan expert, dengan atau tanpa profesionalisme kependidikan. Nutrisinya meningkat, daya akuntansinya makin tajam, ‘militerisme atas diri sendiri’ atau kedisiplinan dan kesungguhannya lahir serius, di dunia maya mereka juga sangat mengincar supremasi. Bahkan sejarah hari esok Indonesia tidak bisa mengelak dari pemikiran-pemikiran baru kaum muda untuk mentransformasikan ketatanegaraan NKRI dan men-saleh-kan konstitusi dan hukumnya.

Saleh” adalah kebaikan yang dihitung dan disimulasikan sedemikian rupa sampai manfaatnya maksimal dan mudaratnya minimal.


Sumber : caknun.com
Posted by NurKhois MuttaQien

Hati Rapuh


Hati Rapuh
Oleh MUHAMMAD AINUN NADJIB,

Seorang teman berkata kepada saya: “Hati saya ini sangat rapuh”

“Apa maksudmu?”

“Tiap hari kerjanya mau nangis dan menyalahkan diri sendiri”

“Cespleng saja, apa maksudmu?”

“Sekedar melihat orang berjualan makanan, memikul angkringan atau mendorong gerobak, saya sudah hendak menangis”

“Itu namanya gembeng”, kata saya.

“Melihat orang bekerja sebegitu suntuk, seharian, semalaman, untuk mencari seribu dua ribu rupiah untuk anak istri, perasaan saya hancur…”

“Romantik”, kata saya lagi.

“Apalagi kalau menyaksikan persaingan keras, sehingga yang satu laku keras sedangkan lainnya tidak begitu laku — rasanya mau bunuh diri saya…”

“Hatimu memang rapuh”, saya berkomentar terus.

“Itulah yang ingin saya kemukakan kepadamu”, katanya, “Hati saya sangat rapuh. Sedangkan orang-orang kecil yang saya ceritakan itu berhati baja. Mereka tidak bergeming oleh penderitaan, oleh tekanan-tekanan….”


Sumber : Caknun.com
Posted by NurKhois MuttaQien

Ka’bah dan Topo Ngrame


Ka’bah dan Topo Ngrame
Oleh SARATRI WILONOYUDHO



Orang yang kelas beribadahnya sudah sampai tataran S3 bahkan S4, tentu sudah tidak perlu lagi tempat dan alat tertentu untuk menggabungkan diri dengan Allah SWT. Ia juga tidak perlu lagi, misalnya, harus menyepi, mencari tempat sunyi “hanya” untuk sekadar agar dapat lebih “khusyu” menemui Allah. Ia tidak perlu lagi harus membawa tasbih kemana pun ia pergi, atau bahkan alat tertentu untuk menghitung jumlah kalimat dzikir yang berbunyi “cethak-cethik” hingga membikin Malaikat terkagum-kagum dan kemudian tertawa melihat alat itu.

Dalam tradisi Jawa ada istilah “Topo Ngrame”, yakni sebuah kemampuan spiritual yang luar biasa untuk mengingat dan melihat Allah di berbagai situasi dan kondisi apapun, entah itu di pasar, di toko, mal, hotel, bahkan di lokalisasi sekalipun. Artinya ia sudah sekelas Khalifah Ali yang ketika melihat daun jatuh ke bumi saja, beliau langsung dapat melihat Allah SWT. Demikian pula, dalam mendirikan tempat ibadah, umat Islam juga tidak perlu meniru biara atau kuil shaolin, yakni memilih tempat di puncak gunung atau di tengah hutan yang jauh dari keramaian manusia. Karena bagi Islam, Allah SWT ada di mana-mana, bahkan sangat dekat dengan urat leher kita.

Karenanya saya juga tidak heran ketika datang ke tanah suci dan kemudian melihat Masjidil Haram beserta Ka’bah, saat ini sudah dikepung oleh bangunan-bangunan menjulang langit. Karenanya, saya juga bisa memahami jika ada seorang teman yang merasakan bahwa ia seperti sedang sholat di tengah rimba beton Tokyo, Hongkong atau New York ketika sholat menghadap kiblat di Masjidil Haram.

Para ahli tata kota dan tata rancang bangunan di Arab Saudi nampaknya sudah memahami nilai spiritual Topo Ngrame ini, sehingga dalam merancang bangunan-bangunan di sekitar Masjidil Haram, mereka tidak perlu mengharamkan bangunan-bangunan komersil. Masjidil Haram sudah disepakati para ahli tersebut, dalam radius tertentu (misalnya) tidak harus steril dari keramaian dunia, seperti arena-arena perdagangan.

Dengan cara seperti ini maka setelah selesai sholat, para jamaah Masjidil Haram dapat langsung berbelanja atau menikmati hidangan ala Barat di sekitarnya Mereka nampaknya juga sepakat bahwa Ka’bah tidak harus lebih tinggi dari bangunan-bangunan di sekitarnya. Silakan bangunan-bangunan komersil menjulang tinggi mengepung Ka’bah, dan nanti boleh jadi Ka’bah akan nampak seperti dasar sumur yang dindingnya adalah bangunan-bangunan komersil tersebut. Para ahli tata bangunan juga sangat yakin bahwa hotel di tanah haram ini tidak akan pernah digunakan (misalnya) untuk selingkuh sambil melihat Ka’bah di bawahnya, dan ia lalu tertawa dengan penuh kemenangan.

Kita juga tidak boleh curiga bahwa ini adalah ulah keluarga kerajaan yang mungkin senang mendendangkan lagu “kemesraan ini janganlah cepat berlalu” dengan negara-negara kapitalis maju. Kita juga tidak boleh curiga kalau kebanyakan minuman atau makanan yang berada di sekitar Masjidil Haram ini datang dari negeri Barat tertentu, dan itu berarti bukan dalam rangka bersekutu dengan keluarga kerajaan misalnya. Kita juga tidak boleh curiga bahwa ini juga merupakan suatu usaha terstruktur rapi untuk mendesakralisasi Ka’bah atau situs-situs yang pernah digunakan Rasulullah dalam menyebarkan Islam. Tujuannya agar kelak “tidak ada bukti” bahwa Rasulullah telah menyebarkan Islam dengan cara damai dan berbudaya.

Islam adalah kekuatan besar, dan kekuatan itu hanya dapat dikalahkan dengan cara memangku atau “menyolu” mereka, bahkan kalau perlu  membutatulikan mereka dengan cara-cara halus yang terlihat Islami. Tujuannya, agar umat hanya sibuk menyembah syariat belaka tanpa mampu mendayagunakan Islam di berbagai lapangan kehidupan sosial, budaya, politik, dan ekonomi.


Sumber : Caknun.com

Posted by NurKhois MuttaQien

Ilaihi Roji’un


Ilaihi Roji'un
Oleh MUHAMMAD AINUN NAJIB




Thawaf itu adalah gerak “inti atom”, elektron mengelilingi proton yang dalam ilmu teknik elektro atau fisika teknik akan menimbulkan energi dahsyat. Dari sisi religius, tawaf itu adalah gerak inti ilaihi roji`un, kembali kepada Allah SWT. Ilaihi roji’un adalah kata kunci ibadah, karena Islam adalah ibadah yang fondasi utamanya adalah menghamba kepada Allah SWT. Orang yang sudah menghamba kepada Allah SWT pasti akan selamat hidupnya dunia akherat dengan tidak harus meninggalkan kehidupan duniawi.

Orang yang sudah ilaihi roji’un pasti akan tenteram hidupnya, yang kata orang Jawa adalahsumeleh. Orang yang tenteram hidupnya akan mudah berpikir jernih, tidak ngoyo dan tidakkemrungsung, namun juga tidak anti-dunia. Ia mampu memenejemen dunia-akherat dengan takaran yang pas, adil, dan indah.
Sayangnya, dalam melaksanakan thawaf banyak orang yang tidak tahu “teknisnya”, apalagi filosofis-teologis ini. Di atas sudah saya katakan, banyak  mereka yang thawaf harus mengeluarkan tenaga yang besar, karena harus menyikut dan mendesak orang lain di kiri kanannya. Bahkan orang yang mau masuk dan keluar lingkaran thawaf, langsung memotong begitu saja sehingga mengganggu “tarian” memutar ini.

Saya sering tergoda untuk marah jika pas thawaf dipotong orang. Kalau orang asing saya tidak sadar mengumpat: “stupid, don’t crossing”, kalau orang Indonesia juga saya teriaki: “Goblog, jangan memotong jalan”. Mestinya orang thawaf kalau masuk atau keluar meniru gerak “obat nyamuk”. Kalau masuk ya harus pelan-pelan sambil kakinya bergeser ke kiri. Jika ini dilakukan, maka dalam satu putaran saja kita sudah mendekati Ka’bah. Demikian pula pas putaran kelima, sambil geser kanan terus memutar, maka pada putaran ketujuh atau terakhir, maka kita langsung akan keluar dari lingkaran thawaf menuju air zam-zam. Hanya orang “bodoh” yang mengeluarkan banyak tenaga jika sedang thawaf, karena kita “pasif” saja, badan ini akan didorong orang.

Sumber : Caknun.com
Posted by NurKhois MuttaQien

AKU

Foto saya
Tidak ada deskripsi tentang diriku ini secara pasti. Karena setiap orang yang kenal dg aku penilaiannya berbeda-beda (ada jg kesamaannya sih!) Jadi, lebih baik kalian deskripsikan aja gimana aku sesuai yg kalian tahu tentang aku. . . . . Quote :: "Hanya butuh dua kata untuk menjalani hidup yg rendah hati; 'maaf' dan 'terima kasih'"

Popular Post

Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

Followers

Cari Blog Ini

- Copyright © SukaSeni. -- Powered by Blogger - Designed by JD -